Belum
juga selesai semester genap di kelas enam, atau sembilan, atau bahkan TK B,
orang tua sudah sibuk mencari sekolah untuk anak mereka. Rata-rata orang tua
ingin anak-anaknya masuk dalam sekolah unggulan. Sangat bisa dimaklumi
mengingat sekolah unggulan biasanya menawarkan fasilitas pendidikan yang
lengkap serta output nilai siswa yang memuaskan. Harus melalui persaingan ketat
untuk masuk sekolah tersebut. Jika ternyata anak bisa masuk melalui seleksi yang
biasanya berupa tes akademik itu, maka orang tua pun lega sekaligus bangga
karena artinya anaknya termasuk siswa pandai. Lalu bagaimana dengan yang tidak
lolos di sekolah unggulan manapun? Apakah ia seorang anak yang bodoh dan tidak
berprestasi?
Hakekatnya,
sekolah adalah lembaga tempat siswa datang untuk menimba pengetahuan, sehingga
terjadi perubahan dari anak yang semula tidak tahu menjadi tahu, dan yang
semula tidak bisa menjadi bisa, yang semula tidak pandai menjadi pandai.
Pintar atau pandai berkaitan erat dengan
kecerdasan. Sedangkan kecerdasan yang sesungguhnya menurut Dr. Howard Gordner yang
disebut Teori Multiple Intelligences (MI), bukan hanya cerdas bidang akademik
saja. Itu adalah teori kuno yang membunuh banyak potensi siswa. Ada delapan
jenis kecerdasan yang masing-masing bisa kita temukan menonjol salah satunya
pada diri seorang anak, atau kadang seorang anak memiliki lebih dari satu jenis
kecerdasan. Kecerdasan apa sajakah itu? Yaitu: Kecerdasan linguistik,
Matematis-Logis, Visual-Spasial, Musik,
Kinestetik, Interpersonal, Intrapersonal, dan Naturalis. Jadi sebenarnya tidak
ada anak yang bodoh. Lalu mengapa sekolah-sekolah unggulan itu menggunakan kriteria tes
akademik yang hanya mencakup sebagian kecil jenis-jenis kecerdasan tersebut?
Jika yang diterima
masuk hanya anak-anak yang sudah dianggap pintar dari awal, bukankah hal biasa
jika outputnya yang dinilai dari standar angka nilai akademiknya itu juga akan
bagus hasilnya? Lalu, dimana hakekat makna “unggulan” dari sekolah tersebut?
Jika memang ingin disebut unggulan, seharusnya dibuktikan dengan kemampuan
sekolah untuk memproses (mengubah) siswa dari keadaan apapun (pandai atau tidak
pandai) menjadi jauh lebih pandai dari
sebelumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan strategi pembelajaran yang
dirancang oleh guru-guru di sekolah itu, yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga hasil pembelajaran
mampu menjadikan siswa mencapai prestasi yang optimal. Di sini sangat penting
untuk memahami modalitas belajar seorang siswa, yang tak mesti sama antara
siswa satu dengan siswa lainnya. Modalitas belajar adalah gaya dan
kecenderungan tertentu seorang seorang anak dalam proses penerimaan informasi
baru ataumenyerap ilmu yang baru dipelajarinya, apakah masuk tipe Auditorial,
Visual, Kinestetik, atau gabungan dari dua jenis dari masing-masing jenis
modalitas belajar itu. Manfaat mengetahui modalitas belajar siswa adalah agar
tidak terjadi keadaan dimana gaya mengajar guru tak sesuai dengan gaya belajar
siswa. Siswa akan lebih mudah menyerap ilmu yang disampaikan apabila gaya
mengajar guru sesuai dengan kecenderungan belajar yang dimilikinya.
Dengan diketahuinya Multiple Intelligences dan modalitas
belajar para siswa, maka akan mudah mengelompokkan mereka sesuai dengan bakat bawaanya, agar guru lebih mudah
merencanakan metodologi penyampaian pelajaran yang tepat pada para siswa.
Sehingga sebenarnya tak harus mencari bibit yang dianggap “cerdas” untuk
menciptakan output yang berprestasi..
Sekolah unggulan seharusnya
menerima siswa dengan segala jenis kecerdasannya, untuk kemudian dikembangkan
oleh sekolah sehingga mampu berprestasi di bidang kecerdasan masing-masing. Jadi, tak seharusnya sekolah
unggulan menggunakan nilai tes akademik sebagai standar masuk tidaknya seorang
anak di sekolah tersebut, tetapi menggunakan tes yang berguna mencari bakat
kecerdasan masing-masing anak serta gaya belajar anak, dalam rangka melakukan
pendekatan metodologi pembelajaran yang akan diterapkan guru pada masing-masing
anak.
Sudah adakah sekolah di
Indonesia yang menerapkan sistem seperti ini? Jawabannya ada. Salah satunya
adalah SMP YIMI Gresik yang telah menerapkan MIR yaitu Multiple Intelligences Research saat siswa mendaftar. Dan itu
bukanlah tes ujian masuk tetapi tes untuk mengetahui kecenderungan bakat dan
gaya belajar anak.. Nyatanya dengan beragam kemampuan siswa yang masuk (tak
hanya yang dianggap cerdas saat awal masuk), sekolah ini mampu menghasilkan
lulusan-lulusan dengan prestasi yang memuaskan.
Ke depan, semoga semua
sekolah di Indonesia bisa menerapkan sistem sesuai wacana ideal sebuah sekolah
unggulan yang telah dipelopori oleh SMP YIMI Gresik tersebut. Lalu siapa yang berhak masuk di sekolah
unggulan? Semua anak berhak masuk selama kuota belum terpenuhi. Andai semua
sekolah menerapkan sistem ini, maka orang tua tak perlu berambisi mengejar
sekolah unggulan tertentu, tinggal memilih mana yang terdekat dan mudah
dijangkau, karena semua sekolah adalah sekolah unggulan.