Rabu, 12 November 2014

Awas! Tracking adalah Malpraktik dalam Dunia Pendidikan


           Menurut Orang tua dan teman-temannya, Ilham adalah siswa yang rajin dan cerdas. Kebetulan, di sekolah Ilham masuk dalam kelas unggulan yang berisi siswa-siswa yang dianggap mempunyai IQ lebih tinggi dari yang lain. Orang tua Ilham bangga sekali dengan prestasi Ilham sehingga selalu memberi dorongan supaya Ilham juga lebih memacu kegiatan belajarnya agar di kelas itu ia bisa mempertahankan peringkat kelas. llham pun tak mau nilainya kalah dengan teman-temannya yang notabene adalah anak-anak yang di kelas sebelumnya memiliki prestasi tinggi, sehingga hampir setiap waktu di sela-sela kegiatan makan dan tidurnya ia isi dengan belajar dan belajar tanpa lelah. Hingga suatu hari ia mengeluh pusing kepala, dan ternyata pusing yang ia rasakan tak kunjung sembuh. Ia juga tak bisa menerima pelajaran dengan mudah seperti sebelumnya, hingga akhirnya prestasinya turun. Ia seperti kehilangan kemampuan untuk belajar lagi. Di sisi lain ia sangat khawatir akan mengecewakan orang tuanya. Apa yang terjadi pada Ilham?
            Ilham adalah korban dari kesalahan sistem yang banyak dipakai di sekolah- sekolah, yaitu program tracking yang membagi-bagi kelas sesuai dengan tingkat kemampuan kognitif anak. Ada kelas yang berisi kumpulan anak-anak yang dianggap pintar, sementara kelas lain adalah kelas yang berisi anak- anak dengan kemampuan biasa-biasa saja. Bahkan ada yang membagi kelas menjadi tiga bagian, yaitu kelas anak cerdas, kelas anak rata-rata, dan kelas dengan kemampuan kognitif yang dianggap lemah.
            Ada juga yang menerapkan program kelas unggulan dengan pembedaan fasilitas pendukung di kelas yang digunakan. Pada kelas unggulan, didukung dengan fasilitas mewah, menggunakan AC, dilengkapi proyektor LCD, diajar oleh guru-guru yang spesial, dan kenyamanan lain yang tak didapat di kelas biasa. Biaya sekolah juga berbeda, layaknya harga tiket kelas eksekutif dengan kelas ekonomi. Meski Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di beberapa sekolah saat ini sudah dihapuskan oleh pemerintah, namun pada prakteknya masih ada yang menerapkan pembedaan kelas unggulan dengan kelas reguler.
            Secara psikologis, penerapan sistem seperti ini tidak sehat bagi siswa. Baik siswa yang masuk ke dalam kelas unggulan, ataupun yang masuk dalam kelas reguler. Apa yang dialami Ilham seperti yang digambarkan oleh Thomas Armstrong dalam bukunya Awakening Genius in the Classroom.  Thomas Armstrong telah melakukan penelitian mendalam tentang kelas khusus ini, dan hasil penelitian itu menunjukkan bahwa perkembangan psikologi dan kompetensi seorang siswa pandai yang masuk dalam kelas khusus anak pandai atau kelas akselerasi mempunyai resiko terjadinya kemunduran tingkat kecerdasan. Kompetisi yang terjadi setiap saat pada kelas ini menimbulkan ketegangan dan memenjarakan siswa dalam dikotomi kalah dan menang. Siswa yang tertinggal oleh teman-temannya langsung frustasi dan murung. Resiko negatif ini sangat buruk untuk perkembangan psikologis pendididkan anak tersebut, seperti yang sedang dialami oleh Ilham. Tujuan pendidikan pun menjadi rancu, bukan lagi murni agar siswa bisa menyerap ilmu yang diberikan guru dengan baik dan maksimal, tetapi beralih agar dapat memacu siswa bersaing untuk meraih nilai tertinggi agar peringkat prestasinya tetap bertahan di antara siswa lain yang juga cerdas.
            Lalu, apakah praktisi pendidikan tak pernah memikirkan apa yang dialami oleh siswa yang tak bisa masuk di kelas unggulan? Mereka menjadi tidak percaya diri di depan orang tua, dan justru pengelompokan itu seakan menjustifikasi secara mental bahwa ia memang anak yang tidak cerdas, padahal belum tentu demikian adanya. Bukankah ini sebuah kekejaman psikologis.
            Dari pengalaman beberapa siswa yang pernah menjalani kelas unggulan atau yang tidak bisa masuk kelas unggulan, dalam segi pergaulan sistemi ini pun berdampak kurang baik. Anak-anak yang berada di kelas unggulan cenderung egois, merasa diri lebih, dan akhirnya membatasi pergaulan sebatas hanya dengan teman-teman dari kelas unggulan juga. Walaupun tidak semua siswa unggulan seperti itu, namun setidaknya fakta yang terjadi menunjukkan gejala itu seperti pengakuan seorang guru yang pernah mendampingi siswa yang diberi sistem tracking, merasa menjadi guru yang gagal karena ternyata terjadi gap pergaulan antara siswa-siswa unggulan dan siswa-siswa yang dianggap biasa saja. Lalu bagaimana lagi jika pembagian itu menjadi tiga kelompok, yaitu kelas anak cerdas, kelas anak rata-rata, dan kelas anak “kurang”? Bisa pembaca bisa membayangkan sendiri hancurnya perasaan anak-anak yang berada di kelas “kurang”, serta kesenjangan pergaulan  yang tercipta makin memprihatinkan.
Lebih parah lagi jika yang berhak masuk di kelas unggulan, selain mereka yang dianggap pintar juga yang harus bisa membayar lebih untuk fasilitas di kelas itu. Seakan-akan dunia pendidikan dimanfaatkan untuk komersialisasi pihak-pihak yang berkepentingan. Pastinya ini juga mempertajam perbedaan antara siswa dari keluarga kaya dan keluarga biasa atau miskin .
            Jadi, apabila dirangkum, program kelas unggulan memiliki beberapa dampak yang merugikan, yaitu:
1.      Segi  psikologis:
a.       Anak-anak unggulan menjadi tertekan, belajar dengan suasana persaingan ketat.
b.      Anak-anak bukan unggulan menjadi turun rasa percaya dirinya, mendapat vonis sebagai anak tidak cerdas yang menyakitkan.
2.      Segi Pergaulan:
Terjadi kesenjangan antara anak-anak unggulan dan anak-anak bukan unggulan. Secara tidak langsung menggiring anak menjadi pribadi yang egois.
3.      Secara Kognitif:
Keadaan psikologis yang tegang terus-menerus mengakibatkan turunnya tingkat kecerdasan anak.
4.      Kaburnya tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang memang diberi kelebihan, sehingga ia sangat cepat menguasai pelajaran di kelas, sehingga waktunya atidak akan efisien bila hanya menunggu teman-temannya? Menurut pakar pendidikan Munif Chatib, syah-syah saja ada kelas akselerasi asal sistem kurikulumnya adalah SKS seperti yang diterapkan di universitas . Jika sistem yang dipakai adalah paket seperti yang diterpkan di Indonesia, maka kelas akselerasi kurang cocok. Justru guru bisa memberdayakan anak-anak yang belajar cepat untuk membantu temannya agar mencapai pemahaman yang maksimal dalam pembelajaran.
Jadi, bagaimanapun pembagian kelas tanpa pembedaan tingkat kecerdasan adlah lebih baik, karena tidak menunjukkan gejala kompetisi yang berlebihan seperti pada kelas unggulan atau akselerasi. Atau jika ingin lebih ideal, maka pembagian kelas terbaik adalah berdasarkan pada kesamaan dalam gaya belajar agar guru lebih mudah membuat rencana pembeljaran yang sesuai dengan gaya eblajar anak pada kelas tersebut.
Sayangi anak-anak Indonesia dengan tidak mengkotak-kotakkannya dengan sistem tracking di sekolah. Mereka semua adalah bibit emas bagi kemajuan bangsa. Mendidik mereka dengan metode yang tepat akan menghasilkan calon-calon penggerak kehidupan bangsa yang lebih bermutu baik otak maupun psikologisnya.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar