Menurut Orang
tua dan teman-temannya, Ilham adalah siswa yang rajin dan cerdas. Kebetulan, di
sekolah Ilham masuk dalam kelas unggulan yang berisi siswa-siswa yang dianggap
mempunyai IQ lebih tinggi dari yang lain. Orang tua Ilham bangga sekali dengan
prestasi Ilham sehingga selalu memberi dorongan supaya Ilham juga lebih memacu
kegiatan belajarnya agar di kelas itu ia bisa mempertahankan peringkat kelas.
llham pun tak mau nilainya kalah dengan teman-temannya yang notabene adalah
anak-anak yang di kelas sebelumnya memiliki prestasi tinggi, sehingga hampir
setiap waktu di sela-sela kegiatan makan dan tidurnya ia isi dengan belajar dan
belajar tanpa lelah. Hingga suatu hari ia mengeluh pusing kepala, dan ternyata
pusing yang ia rasakan tak kunjung sembuh. Ia juga tak bisa menerima pelajaran
dengan mudah seperti sebelumnya, hingga akhirnya prestasinya turun. Ia seperti kehilangan
kemampuan untuk belajar lagi. Di sisi lain ia sangat khawatir akan mengecewakan
orang tuanya. Apa yang terjadi pada Ilham?
Ilham adalah korban dari kesalahan
sistem yang banyak dipakai di sekolah- sekolah, yaitu program tracking yang
membagi-bagi kelas sesuai dengan tingkat kemampuan kognitif anak. Ada kelas
yang berisi kumpulan anak-anak yang dianggap pintar, sementara kelas lain
adalah kelas yang berisi anak- anak dengan kemampuan biasa-biasa saja. Bahkan
ada yang membagi kelas menjadi tiga bagian, yaitu kelas anak cerdas, kelas anak
rata-rata, dan kelas dengan kemampuan kognitif yang dianggap lemah.
Ada juga yang menerapkan program
kelas unggulan dengan pembedaan fasilitas pendukung di kelas yang digunakan.
Pada kelas unggulan, didukung dengan fasilitas mewah, menggunakan AC,
dilengkapi proyektor LCD, diajar oleh guru-guru yang spesial, dan kenyamanan
lain yang tak didapat di kelas biasa. Biaya sekolah juga berbeda, layaknya
harga tiket kelas eksekutif dengan kelas ekonomi. Meski Program Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional di beberapa sekolah saat ini sudah dihapuskan oleh
pemerintah, namun pada prakteknya masih ada yang menerapkan pembedaan kelas
unggulan dengan kelas reguler.
Secara psikologis, penerapan sistem
seperti ini tidak sehat bagi siswa. Baik siswa yang masuk ke dalam kelas
unggulan, ataupun yang masuk dalam kelas reguler. Apa yang dialami Ilham
seperti yang digambarkan oleh Thomas Armstrong dalam bukunya Awakening
Genius in the Classroom. Thomas
Armstrong telah melakukan penelitian mendalam tentang kelas khusus ini, dan
hasil penelitian itu menunjukkan bahwa perkembangan psikologi dan kompetensi
seorang siswa pandai yang masuk dalam kelas khusus anak pandai atau kelas
akselerasi mempunyai resiko terjadinya kemunduran tingkat kecerdasan.
Kompetisi yang terjadi setiap saat pada kelas ini menimbulkan ketegangan dan
memenjarakan siswa dalam dikotomi kalah dan menang. Siswa yang tertinggal oleh
teman-temannya langsung frustasi dan murung. Resiko negatif ini sangat buruk
untuk perkembangan psikologis pendididkan anak tersebut, seperti yang sedang
dialami oleh Ilham. Tujuan pendidikan pun menjadi rancu, bukan lagi murni agar
siswa bisa menyerap ilmu yang diberikan guru dengan baik dan maksimal, tetapi
beralih agar dapat memacu siswa bersaing untuk meraih nilai tertinggi agar
peringkat prestasinya tetap bertahan di antara siswa lain yang juga cerdas.
Lalu, apakah praktisi pendidikan tak
pernah memikirkan apa yang dialami oleh siswa yang tak bisa masuk di kelas
unggulan? Mereka menjadi tidak percaya diri di depan orang tua, dan justru pengelompokan
itu seakan menjustifikasi secara mental bahwa ia memang anak yang tidak cerdas,
padahal belum tentu demikian adanya. Bukankah ini sebuah kekejaman psikologis.
Dari pengalaman beberapa siswa yang
pernah menjalani kelas unggulan atau yang tidak bisa masuk kelas unggulan,
dalam segi pergaulan sistemi ini pun berdampak kurang baik. Anak-anak yang
berada di kelas unggulan cenderung egois, merasa diri lebih, dan akhirnya
membatasi pergaulan sebatas hanya dengan teman-teman dari kelas unggulan juga.
Walaupun tidak semua siswa unggulan seperti itu, namun setidaknya fakta yang terjadi
menunjukkan gejala itu seperti pengakuan seorang guru yang pernah mendampingi
siswa yang diberi sistem tracking, merasa menjadi guru yang gagal karena
ternyata terjadi gap pergaulan antara siswa-siswa unggulan dan
siswa-siswa yang dianggap biasa saja. Lalu bagaimana lagi jika pembagian itu
menjadi tiga kelompok, yaitu kelas anak cerdas, kelas anak rata-rata, dan kelas
anak “kurang”? Bisa pembaca bisa membayangkan sendiri hancurnya perasaan
anak-anak yang berada di kelas “kurang”, serta kesenjangan pergaulan yang tercipta makin memprihatinkan.
Lebih
parah lagi jika yang berhak masuk di kelas unggulan, selain mereka yang
dianggap pintar juga yang harus bisa membayar lebih untuk fasilitas di kelas
itu. Seakan-akan dunia pendidikan dimanfaatkan untuk komersialisasi pihak-pihak
yang berkepentingan. Pastinya ini juga mempertajam perbedaan antara siswa dari
keluarga kaya dan keluarga biasa atau miskin .
Jadi, apabila dirangkum, program
kelas unggulan memiliki beberapa dampak yang merugikan, yaitu:
1. Segi psikologis:
a. Anak-anak
unggulan menjadi tertekan, belajar dengan suasana persaingan ketat.
b. Anak-anak
bukan unggulan menjadi turun rasa percaya dirinya, mendapat vonis sebagai anak
tidak cerdas yang menyakitkan.
2. Segi
Pergaulan:
Terjadi
kesenjangan antara anak-anak unggulan dan anak-anak bukan unggulan. Secara
tidak langsung menggiring anak menjadi pribadi yang egois.
3. Secara
Kognitif:
Keadaan
psikologis yang tegang terus-menerus mengakibatkan turunnya tingkat kecerdasan
anak.
4. Kaburnya
tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Lalu
bagaimana dengan anak-anak yang memang diberi kelebihan, sehingga ia sangat
cepat menguasai pelajaran di kelas, sehingga waktunya atidak akan efisien bila
hanya menunggu teman-temannya? Menurut pakar pendidikan Munif Chatib, syah-syah
saja ada kelas akselerasi asal sistem kurikulumnya adalah SKS seperti yang
diterapkan di universitas . Jika sistem yang dipakai adalah paket seperti yang
diterpkan di Indonesia, maka kelas akselerasi kurang cocok. Justru guru bisa
memberdayakan anak-anak yang belajar cepat untuk membantu temannya agar
mencapai pemahaman yang maksimal dalam pembelajaran.
Jadi,
bagaimanapun pembagian kelas tanpa pembedaan tingkat kecerdasan adlah lebih
baik, karena tidak menunjukkan gejala kompetisi yang berlebihan seperti pada
kelas unggulan atau akselerasi. Atau jika ingin lebih ideal, maka pembagian
kelas terbaik adalah berdasarkan pada kesamaan dalam gaya belajar agar guru
lebih mudah membuat rencana pembeljaran yang sesuai dengan gaya eblajar anak
pada kelas tersebut.
Sayangi
anak-anak Indonesia dengan tidak mengkotak-kotakkannya dengan sistem tracking
di sekolah. Mereka semua adalah bibit emas bagi kemajuan bangsa. Mendidik
mereka dengan metode yang tepat akan menghasilkan calon-calon penggerak
kehidupan bangsa yang lebih bermutu baik otak maupun psikologisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar