Rabu, 12 November 2014

Racun itu: "Keong Racun" hingga “Buka Sithik, Jos! “


         Prihatin. Itulah kata yang terlintas dalam benak saya sebagai seorang ibu yang memiliki buah hati  yang sedang dalam masa pertumbuhan. Hampir setiap hari mereka tak lepas dari mendengar lirik-lirik lagu berbahasa Indonesia yang isinya sangat tidak layak, baik untuk konsumsi pendengaran anak-anak ataupun untuk kategori dewasa. Dalam hal ini penulis bukannya ingin mendiskreditkan jenis musik tertentu (Dangdut). Hanya kebetulan saja lirik-lirik tidak bermutu itu akhir-akhir ini ada di barisan jenis lagu tersebut. Mungkin ada juga Jenis lagu lain yang memiliki lirik kurang mendidik, namun kebetulan yang akhir-akhir ini yang lagi booming dan dihapal luar kepala oleh banyak anak masuk dalam jenis lagu tersebut.
            Sebut saja penggalan lirik lagu ini,”Dasar kau keong racun, baru kenal sudah minta tidur.” Kalau tidak salah lagu “Keong Racun” ini populer dua tahun lalu. begitu muncul di You tube, lagu ini seakan menggantikan posisi lagu kebangsaan di Indonesia, di setiap tempat, setiap saat, setiap hari berkumandang mengisi otak dan jiwa pendengarnya. Tak perlu dibela itu adalah seni yang  memiliki kebebasan berkreasi yang tak boleh dibatasi. Seniman manapun sesungguhnya membohongi hati nurani jika mengatakan kalimat lirik lagu tersebut adalah seni yang perlu dibela. Orang dewasa manapun tahu arti dari kalimat tersebut tanpa harus berpikiran kotor. Bukan pikiran pendengar lagu itu yang kotor, tapi justru lagu itulah yang memancing pikiran-pikiran kotor pada “penderita” yaitu pendengarnya. Apalagi yang masih anak bawang, yang belum terlalu paham mana yang baik dan mana yang harus dijauhi. Tidak miriskah anda jika saat mendengar lagu itu lalu anak Tk atau SD anda bertanya, “Maksudnya minta tidur gimana sih Ma?” Taruhlah kita bisa mengolah kalimat dan sedikit berbohong pada anak-anak kecil kita agar tak ketahuan maksud sesungguhnya kalimat itu, tapi kalau mereka mendengar penjelasan makna kalimat itu dari temannya? mereka yang seharusnya masih memiliki otak seputih kapas jadi teracuni pikirannya oleh bayangan adegan jorok dari penjelasan temannya tadi. Lalu bagaimana dengan remaja kita yang berada pada fase “selalu ingin tahu”? Setiap hari setiap saat mendengar kalimat itu bukankah akan terbawa ke alam bawah sadar mereka dan memancing untuk ingin tahu rasanya “Minta tidur” tersebut saat mereka sedang dekat dengan lawan jenis? Miris!
Setelah lagu “Keong Racun” agak surut popularitasnya, muncul lagu aneh bin ajaib lain, yaitu “Cinta Satu Malam”. Salah satu penggalan syair lagunya sebagai berikut,”Cinta satu malam, oh indahnya, cinta satu malam membuatku melayang, walau satu malam akan slalu kukenang dalam hidupku...”. Apa maksudnya lagu ini? Mau menceritakan kisah percintaan yang dilakukan penyanyi sama pasangannya yang berlangsung hanya dalam satu malam? Kalau percintaannya hanya satu malam nggak mungkin itu suaminya. Penulis sebut aneh bin ajaib, karena syairnya aneh, tidak ada pesan moral sama sekali justru sebaliknya seakan mengajarkan pergaulan bebas, bahwa menjalin cinta tanpa ikatan tak apa-apa, walau hanya satu malam, yang penting suka sama suka, yang penting hepi. Ajaib, karena bisa-bisanya lagu seperti tak ada yang mencekal. Dan sekali lagi, apakah penulis akan dianggap berpikiran kotor ketika merasa risih dengan lagu tersebut? Penulis sangat menghargai mereka, saat kebetulan menyaksikan di televisi sekelompok penyanyi yang membawakan lagu ini dengan mengganti sebaris kalimat lirik lagu “Cinta satu malam, oh indahnya” menjadi “Cinta selamanya, oh indahnya”, terkesan lebih menghargai arti kata cinta sebagai sesuatu yang agung, bukan sekedar untuk bersenang -senang.
Selanjutnya, belum surut lagu “Cinta Satu Malam” melanglang buana, masyarakat Indonesia dibius lagi oleh lagu “Satu Jam Saja”. “ Aduh sayang, badanku gemeteran saat engkau kecup keningku... Satu jam saja, aku dimanjanya, satu jam saja aku dirayunya, satu jam saja aku dicumbunya, satu jam saja oh indahnya....” Penulis pikir ini malah lebih parah lagi dari “Cinta Satu Malam”. Tapi bukan semalam atau hanya satu jam yang jadi masalah, tapi sudah jelas lagu tersebut mengajarkan pergaulan bebas kebablas. Entah mengapa tak ada yang mencekal, tak ada yang protes, semua oke-oke saja menikmati lantunan suara “Saskia Gotic” yang cantik itu. Ataukah kecantikan dan goyang itiknya justru menutupi makna vulgar lagu itu? Atau justru mendukung kevulgaran lagu itu sehingga rasa-rasanya tak satu pihak berwenangpun yang merasa adanya ancaman bahaya dari lirik lagu tersebut bagi generasi muda?
Belum reda kekhawatiran penulis terhadap lagu-lagu aneh bin ajaib itu, tiba-tiba khasanah dunia musik Indonesia diramaikan oleh lagu “Buka Thitik, Jos!” Lagu yang di lantunkan oleh Putri dari Annisa Bahar itu sempat membuat penulis penasaran. Lalu mencari informasi lirk lagunya yang ternyata sangat tidak berkelas. Penulis bukan menganggap orkes dangdut yang disebut dalam lagu itu tidak berkelas, tetapi sekali lagi yang dimaksud tidak berkelas adalah isi lagu itu. Intinya penonton akan bilang “Buka Thitik, Jos” saat nonton dangdut, apakah karena aku (penyanyi) yang pakai rok mini? “Sukanya... Abang ini intip-intip kupakai rok mini....”. Astaghfirullah... lagu apa ini?. Konon kabarnya lagu ini merupakan soundtrack sebuah sinetron yang ditolak tayang oleh beberapa stasiun televisi. Ya, pantas saja mengingat isi lagu yang seperti itu, tentu bisa diprediksi bagaimana cerita dalam sinetronnya. Dan sangat beruntung bagi lagu itu ketika sebuah stasiun televisi menjadikannya icon sebuah acara hiburan, dan ternyata mereka cukup bijak dengan hanya memakai musiknya saja yang mengiringi goyang caesar, tanpa menyertakan lirik lagu tak senonoh itu.
Apakah seni memang tak memiliki batas walaupun itu batas kesopanan dan moral? Lalu jika hanya mementingkan kebebasan berkesenian serta tentu saja kebebasan “mencari nafkah”, sudah bisa dijadikan sebagai alasan mengesampingkan kesehatan jiwa generasi muda yang merupakan bibit penerus perjuangan kita? Miris, ingin juga kadang menangis dalam hati melihat kehidupan yang penuh virus moralitas yang setiap saat menguntit langkah-langkah buah hati kita.
Seni itu indah, termasuk musik. Penulis pribadi juga mencintai musik, jujur saja. Tapi alangkah sayangnya jika kita melakoni hobi atau mengembangkan passion dengan tanpa etika. Kadang ingin melontarkan kepada para pencipta lagu, atau penyanyi itu,”Hai... coba kalau anakmu setiap hari dibisikin lirik-lirik lagumu, tegakah kamu membiarkannya begitu saja? Tak bisakah kalian membuat syair lagu yang lebih sopan, lebih mendidik, lebih halus? Kata siapa tema cinta (Yang notabene “menjual’) tidak bisa dikemas dengan lebih sopan dan anggun? Menurut penulis, jika kalian menyalahkan selera masyarakat, kalian hanya mencari kambing hitam. Sesungguhnya kalian bisa membentuk selera pasar dengan lebih baik, buatlah lagu dan musik yang tidak meracuni otak anak-anakmu.
 Apa kaubilang?  “Itu kan lagu dewasa?” Hai, memangnya anak-anak kita tidak punya kuping?. Bukan hanya anak-anak yang harus menulikan pendengarannya, tapi kalian pelaku musik itulah yang harus membuka mata yang buta akan resiko lagu-lagu yang kalian ciptakan atau yang kalian lantunkan itu untuk anak-anakmu.
Saran saya, marilah kita bekali anak-anak kita dengan pendidikan agama dan budi pekerti yang baik untuk menangkal pengaruh dari lagu-lagu nakal tersebut (tentu juga dari  pengaruh hal tak baik lainnya). Ke dua, himbauan penulis untuk pemerintah, menteri yang berkaitan dengan bidang seni, menteri agama, wakil-wakil rakyat, tolonglah pikirkan hal ini. Sampaikan amanat orang tua yang ingin anak-anaknya tak melulu mendengar lagu-lagu beracun itu, buatlah kebijakan, buat aturan main bagi pemilik dapur rekaman atau pencipta lagu sekaligus penyanyinya dalam meluncurkan lagu-lagu baru, kenakan denda yang besar atau sanksi yang membuat kapok bila karya mereka termasuk “tidak mendidik dan meracuni”. Yang ke tiga, kepada pelaku seni itu sendiri, marilah membuat karya yang membawa dampak baik pada masyarakat, minimal tidak menimbulkan keresahan akibat lagu ciptaan atau yang anda bawakan tersebut. Carilah nafkah dengan santun dan tak merugikan masyarakat banyak. Cintailah generasi muda, anggaplah mereka anak-anakmu jua.

Penulis hanya menyebut beberapa lagu tersebut, bukan berarti tak ada lagu lain yang liriknya “nakal”. Masih ada beberapa lagu yang tak sempat disebutkan penulis yang lirik-liriknya cukup mengkhawatirkan.  Harapan terakhir penulis, marilah menjadi pendengar yang cerdas. Insyaallah masyarakat Indonesia yng merasa sudah dewasa sudah bisa menilai sendiri mana lagu yang layak dan tidak layak. Tetapi, tetap kita harus memikirkan telinga dan otak anak-anak kita yang masih lugu dan mudah dimasuki oleh informasi apapun. Mari kita pikirkan mereka.....anak-anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar