Prihatin. Itulah kata yang terlintas
dalam benak saya sebagai seorang ibu yang memiliki buah hati yang sedang dalam masa pertumbuhan. Hampir
setiap hari mereka tak lepas dari mendengar lirik-lirik lagu berbahasa
Indonesia yang isinya sangat tidak layak, baik untuk konsumsi pendengaran
anak-anak ataupun untuk kategori dewasa. Dalam hal ini penulis bukannya ingin
mendiskreditkan jenis musik tertentu (Dangdut). Hanya kebetulan saja
lirik-lirik tidak bermutu itu akhir-akhir ini ada di barisan jenis lagu
tersebut. Mungkin ada juga Jenis lagu lain yang memiliki lirik kurang mendidik,
namun kebetulan yang akhir-akhir ini yang lagi booming dan dihapal luar kepala
oleh banyak anak masuk dalam jenis lagu tersebut.
Sebut saja penggalan lirik lagu ini,”Dasar kau keong
racun, baru kenal sudah minta tidur.” Kalau tidak salah lagu “Keong Racun” ini
populer dua tahun lalu. begitu muncul di You tube, lagu ini seakan menggantikan
posisi lagu kebangsaan di Indonesia, di setiap tempat, setiap saat, setiap hari
berkumandang mengisi otak dan jiwa pendengarnya. Tak perlu dibela itu adalah
seni yang memiliki kebebasan berkreasi
yang tak boleh dibatasi. Seniman manapun sesungguhnya membohongi hati nurani
jika mengatakan kalimat lirik lagu tersebut adalah seni yang perlu dibela.
Orang dewasa manapun tahu arti dari kalimat tersebut tanpa harus berpikiran
kotor. Bukan pikiran pendengar lagu itu yang kotor, tapi justru lagu itulah
yang memancing pikiran-pikiran kotor pada “penderita” yaitu pendengarnya.
Apalagi yang masih anak bawang, yang belum terlalu paham mana yang baik dan
mana yang harus dijauhi. Tidak miriskah anda jika saat mendengar lagu itu lalu
anak Tk atau SD anda bertanya, “Maksudnya minta tidur gimana sih Ma?” Taruhlah
kita bisa mengolah kalimat dan sedikit berbohong pada anak-anak kecil kita agar
tak ketahuan maksud sesungguhnya kalimat itu, tapi kalau mereka mendengar
penjelasan makna kalimat itu dari temannya? mereka yang seharusnya masih
memiliki otak seputih kapas jadi teracuni pikirannya oleh bayangan adegan jorok
dari penjelasan temannya tadi. Lalu bagaimana dengan remaja kita yang berada pada
fase “selalu ingin tahu”? Setiap hari setiap saat mendengar kalimat itu
bukankah akan terbawa ke alam bawah sadar mereka dan memancing untuk ingin tahu
rasanya “Minta tidur” tersebut saat mereka sedang dekat dengan lawan jenis?
Miris!
Setelah
lagu “Keong Racun” agak surut popularitasnya, muncul lagu aneh bin ajaib lain,
yaitu “Cinta Satu Malam”. Salah satu penggalan syair lagunya sebagai
berikut,”Cinta satu malam, oh indahnya, cinta satu malam membuatku melayang,
walau satu malam akan slalu kukenang dalam hidupku...”. Apa maksudnya lagu ini?
Mau menceritakan kisah percintaan yang dilakukan penyanyi sama pasangannya yang
berlangsung hanya dalam satu malam? Kalau percintaannya hanya satu malam nggak
mungkin itu suaminya. Penulis sebut aneh bin ajaib, karena syairnya aneh, tidak
ada pesan moral sama sekali justru sebaliknya seakan mengajarkan pergaulan
bebas, bahwa menjalin cinta tanpa ikatan tak apa-apa, walau hanya satu malam,
yang penting suka sama suka, yang penting hepi. Ajaib, karena bisa-bisanya lagu
seperti tak ada yang mencekal. Dan sekali lagi, apakah penulis akan dianggap
berpikiran kotor ketika merasa risih dengan lagu tersebut? Penulis sangat
menghargai mereka, saat kebetulan menyaksikan di televisi sekelompok penyanyi
yang membawakan lagu ini dengan mengganti sebaris kalimat lirik lagu “Cinta
satu malam, oh indahnya” menjadi “Cinta selamanya, oh indahnya”, terkesan lebih
menghargai arti kata cinta sebagai sesuatu yang agung, bukan sekedar untuk
bersenang -senang.
Selanjutnya,
belum surut lagu “Cinta Satu Malam” melanglang buana, masyarakat Indonesia
dibius lagi oleh lagu “Satu Jam Saja”. “ Aduh sayang, badanku gemeteran saat
engkau kecup keningku... Satu jam saja, aku dimanjanya, satu jam saja aku
dirayunya, satu jam saja aku dicumbunya, satu jam saja oh indahnya....” Penulis
pikir ini malah lebih parah lagi dari “Cinta Satu Malam”. Tapi bukan semalam
atau hanya satu jam yang jadi masalah, tapi sudah jelas lagu tersebut
mengajarkan pergaulan bebas kebablas. Entah mengapa tak ada yang mencekal, tak
ada yang protes, semua oke-oke saja menikmati lantunan suara “Saskia Gotic”
yang cantik itu. Ataukah kecantikan dan goyang itiknya justru menutupi makna
vulgar lagu itu? Atau justru mendukung kevulgaran lagu itu sehingga rasa-rasanya
tak satu pihak berwenangpun yang merasa adanya ancaman bahaya dari lirik lagu
tersebut bagi generasi muda?
Belum
reda kekhawatiran penulis terhadap lagu-lagu aneh bin ajaib itu, tiba-tiba
khasanah dunia musik Indonesia diramaikan oleh lagu “Buka Thitik, Jos!” Lagu
yang di lantunkan oleh Putri dari Annisa Bahar itu sempat membuat penulis
penasaran. Lalu mencari informasi lirk lagunya yang ternyata sangat tidak
berkelas. Penulis bukan menganggap orkes dangdut yang disebut dalam lagu itu
tidak berkelas, tetapi sekali lagi yang dimaksud tidak berkelas adalah isi lagu
itu. Intinya penonton akan bilang “Buka Thitik, Jos” saat nonton dangdut, apakah
karena aku (penyanyi) yang pakai rok mini? “Sukanya... Abang ini intip-intip
kupakai rok mini....”. Astaghfirullah... lagu apa ini?. Konon kabarnya lagu ini
merupakan soundtrack sebuah sinetron yang ditolak tayang oleh beberapa stasiun
televisi. Ya, pantas saja mengingat isi lagu yang seperti itu, tentu bisa
diprediksi bagaimana cerita dalam sinetronnya. Dan sangat beruntung bagi lagu
itu ketika sebuah stasiun televisi menjadikannya icon sebuah acara hiburan, dan
ternyata mereka cukup bijak dengan hanya memakai musiknya saja yang mengiringi
goyang caesar, tanpa menyertakan lirik lagu tak senonoh itu.
Apakah
seni memang tak memiliki batas walaupun itu batas kesopanan dan moral? Lalu
jika hanya mementingkan kebebasan berkesenian serta tentu saja kebebasan “mencari
nafkah”, sudah bisa dijadikan sebagai alasan mengesampingkan kesehatan jiwa
generasi muda yang merupakan bibit penerus perjuangan kita? Miris, ingin juga
kadang menangis dalam hati melihat kehidupan yang penuh virus moralitas yang
setiap saat menguntit langkah-langkah buah hati kita.
Seni
itu indah, termasuk musik. Penulis pribadi juga mencintai musik, jujur saja.
Tapi alangkah sayangnya jika kita melakoni hobi atau mengembangkan passion
dengan tanpa etika. Kadang ingin melontarkan kepada para pencipta lagu, atau
penyanyi itu,”Hai... coba kalau anakmu setiap hari dibisikin lirik-lirik
lagumu, tegakah kamu membiarkannya begitu saja? Tak bisakah kalian membuat
syair lagu yang lebih sopan, lebih mendidik, lebih halus? Kata siapa tema cinta
(Yang notabene “menjual’) tidak bisa dikemas dengan lebih sopan dan anggun? Menurut
penulis, jika kalian menyalahkan selera masyarakat, kalian hanya mencari
kambing hitam. Sesungguhnya kalian bisa membentuk selera pasar dengan lebih
baik, buatlah lagu dan musik yang tidak meracuni otak anak-anakmu.
Apa kaubilang? “Itu kan lagu dewasa?” Hai, memangnya
anak-anak kita tidak punya kuping?. Bukan hanya anak-anak yang harus menulikan
pendengarannya, tapi kalian pelaku musik itulah yang harus membuka mata yang
buta akan resiko lagu-lagu yang kalian ciptakan atau yang kalian lantunkan itu
untuk anak-anakmu.
Saran
saya, marilah kita bekali anak-anak kita dengan pendidikan agama dan budi
pekerti yang baik untuk menangkal pengaruh dari lagu-lagu nakal tersebut (tentu
juga dari pengaruh hal tak baik
lainnya). Ke dua, himbauan penulis untuk pemerintah, menteri yang berkaitan
dengan bidang seni, menteri agama, wakil-wakil rakyat, tolonglah pikirkan hal
ini. Sampaikan amanat orang tua yang ingin anak-anaknya tak melulu mendengar
lagu-lagu beracun itu, buatlah kebijakan, buat aturan main bagi pemilik dapur
rekaman atau pencipta lagu sekaligus penyanyinya dalam meluncurkan lagu-lagu
baru, kenakan denda yang besar atau sanksi yang membuat kapok bila karya mereka
termasuk “tidak mendidik dan meracuni”. Yang ke tiga, kepada pelaku seni itu
sendiri, marilah membuat karya yang membawa dampak baik pada masyarakat,
minimal tidak menimbulkan keresahan akibat lagu ciptaan atau yang anda bawakan
tersebut. Carilah nafkah dengan santun dan tak merugikan masyarakat banyak.
Cintailah generasi muda, anggaplah mereka anak-anakmu jua.
Penulis
hanya menyebut beberapa lagu tersebut, bukan berarti tak ada lagu lain yang
liriknya “nakal”. Masih ada beberapa lagu yang tak sempat disebutkan penulis
yang lirik-liriknya cukup mengkhawatirkan.
Harapan terakhir penulis, marilah menjadi pendengar yang cerdas.
Insyaallah masyarakat Indonesia yng merasa sudah dewasa sudah bisa menilai
sendiri mana lagu yang layak dan tidak layak. Tetapi, tetap kita harus
memikirkan telinga dan otak anak-anak kita yang masih lugu dan mudah dimasuki
oleh informasi apapun. Mari kita pikirkan mereka.....anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar